Minggu, 14 Februari 2010

DAJJAL dan IBNU SHAYYAD


FITNAH DAJJAL seri 2

IBNU SHAYYAD ITU HAKIKI ADANYA

Abu 'Ubayyah beranggapan bahwa sosok Ibnu Shayyad itu adalah fiktif dan khurafat yang kisah ceritanya dimuat dalam beberapa buku dan dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengucapkan perkataan dan melakukan perbuatan kecuali yang berisi kebenaran. Maka telah tiba waktunya bagi kita untuk mengambil ruh, makna, dan petunjuk hadits tersebut dengan jeli dan teliti, sebagaimana yang kita lakukan terhadap sanad dan jalan periwayatannya agar pengetahuan keislaman kita selamat dari kebohongan dan kekeliruan. [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 104].

Itulah perkataan Syekh Abu 'Ubayyah dalam mengomentari hadits-hadits tentang Ibnu Shayyad. Perkataan beliau ini tertolak karena hadits-hadits mengenai Ibnu Shayyad itu adalah shahih sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunnah seperti kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta lainnya. Dan dalam hadits-hadits mengenai Ibnu Shayyad itu tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ruh hadits dan kebenaran. Maka Ibnu Shayyad sebagaimana telah disebutkan di muka masalahnya memang samar bagi kaum Muslimin. Dia adalah salah satu dajjal dari dajjal-dajjal (pembohong-pembohong) yang kebohongan dan kebatilannya dinampakkan oleh Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Sebaliknya perkataan-perkataan Abu 'Ubayyah sendiri tampak kontradiktif. Dalam komentarnya terhadap hadits-hadits Ibnu Shayyad antara lain beliau pernah mengatakan, "Sebenarnya Ibnu Shayyad hanya mengucapkan perkataan yang tidak ada artinya sama sekali sebagaimana kebiasaan para dukun (tukang tenung), dan dengan perkataannya itu dia tidak bermaksud apa-apa. Maka dia adalah seorang tukang sulap dan pembohong." [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 88)]

Perkataan beliau ini berisi pengakuan bahwa Ibnu Shayyad itu tukang sulap dan pembohong. Maka bagaimana cara mencerna dan menerima perkataan beliau yang pada suatu waktu mengatakan bahwa Ibnu Shayyad itu hanyalah fiksi dan khurafat, sedang pada waktu yang lain beliau mengatakan bahwa dia adalah tukang sulap? Maka tidak diragukan lagi bahwa perkataan Abu 'Ubayyah itu kontradiktif, saling bertentangan dengan sendirinya.

Orang yang mengikuti komentar atau catatan kaki Syekh Abu 'Ubayyah terhadap kitab An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim karya Al-Hafizh Ibnu Katsir, niscaya ia akan merasa heran terhadap sikap Syekh Abu 'Ubayyah terhadap hadits-hadits yang dibawakan oleh Ibnu Katsir. Apa yang sesuai dengan pemikiran beliau, beliau terima sebagai kebenaran; dan yang tidak sesuai dengan pemikiran beliau, beliau takwilkan dengan takwil yang menyalahi zhahir hadits atau beliau hukumi hadits yang shahih itu sebagai hadits maudhu', tanpa mengemukakan dalil dan keterangan serta bukti-bukti yang benar.

Mengenai hadits Ibnu Shayyad, Abu 'Ubayyah berkata, "Apakah anak kecil itu sudah mukallaf? Apakah sedemikian serius perhatian Rasul terhadap anggapan semacam ini sehingga beliau perlu menemuinya dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya? Apakah masuk akal beliau menunggunya sehingga mendapatkan jawaban? Apakah dapat diterima oleh akal sehat bahwa beliau demikian toleran terhadap jawaban si kafir yang mengaku sebagai Nabi dan Rasul? Apakah Allah mengutus anak-anak? Itulah beberapa pertanyaan yang kami ajukan kepada orang-orang yang tidak mau mempergunakan akalnya untuk berpikir yang lurus." [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 104]

Perkataan Ibnu 'Ubayyah itu dijawab bahwa tidak seorang pun yang berpendapat bahwa anak kecil itu sudah mukallaf, juga tidak ada yang berpendapat bahwa Allah mengutus anak-anak sebagai Rasul-Nya. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengetahui apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal yang sebenarnya atau bukan. Karena tersiar kabar di Madinah bahwa dia adalah Dajjal yang diidentifikasikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau peringatkan umat beliau terhadapnya, sedangkan beliau sendiri tidak pernah memperoleh wahyu tentang Ibnu Shayyad. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bahwa yang menyingkap kebohongannya ialah dia sudah mumayyiz dan memahami perkataan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan, "Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul Allah?" hingga perkataan beliau, "Sesungguhnya aku menyembunyikan sesuatu terhadapmu" dan lain-lain pertanyaan yang beliau ajukan kepadanya.

Perkataan atau pertanyaan yang diajukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dimaksudkan untuk memberi taklif Ibnu Shayyad (yang masih kecil itu) dengan Islam (mengakui kerasulan beliau). melainkan untuk mengungkap hakikat masalahnya. Kalau begitu maksudnya. maka tidaklah aneh jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti (menunggu) untuk mengetahui jawabannya. Dan dari jawabannya itulah nampak bahwa dia adalah salah seorang dajjal (pembohong) dari para pembohong besar (dajjal-dajjal).

Dan lagi, tidak ada hal yang dapat menghalangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menawarkan Islam kepada anak kecil. Bahkan Imam Bukhari meriwayatkan kisah Ibnu Shayyad itu dan membuat bab dengan judul Bab Kaifa Yu'radhul Islam 'alaAsh-Shabiyyi (Bab Bagaimana Islam ditawarkan kepada Anak Kecil). [Shahih Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Kaifa Yu'radhu Al-islam 'ala Ash-Shabiyyi 6: 171]

Adapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghukum Ibnu Shayyad yang mengaku sebagai nabi ini maka hal ini merupakan kesamaran yang disebabkan oleh ketidaktahuan Abu 'Ubayyah terhadap perkataan para ulama mengenai masalah tersebut yaitu:

1. Bahwa Ibnu Shayyad adalah orang Yahudi Madinah atau termasuk sekutu mereka, sedangkan antara mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu itu terdapat perjanjian damai dan saling melindungi. Yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah beliau mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi untuk berdamai dan tidak saling menyerang. serta membiarkan mereka melaksanakan agamanya. Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah kepergian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Shayyad beserta pertanyaan yang beliau ajukan dan perkatan Umar kepada beliau. "Izinkanlah saya untuk membunuhnya. wahai Rasulullah." Kemudian beliau menjawab. "Jika Ibnu Shayyad itu dajjal maka bukan engkau yang. membunuhnya. tetapi Isa bin Mar'yam ‘Alaihis sallam. Dan jika dia itu bukan Dajjal. maka engkau tidak boleh membunuh seseorang yang termasuk golongan orang-orang yang terikat janji damai denganku." [Al-Faihur Rabbani 24: 64-65. Al-Haitsami berkata. "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih." Vide: Majma 'uz Zawaid 8:3-4]

Yang berpendapat demikian antara lain adalah Al-Khaththabi (Ma'alamu sunnah 6: 182) dan Al-Baghawi (Syarhus Sunnah 15: 80 dengan tahqiq Syu’aib Al-Arnuth). Ibnu Hajar berkata, "Inilah pendapat yang jelas." [Faihul-Bari 6: 174]

2. Ibnu Shayyad pada waktu itu masih kecil, belum dewasa. Jawaban ini diperkuat dengan riwayat Bukhari dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah kepergian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Shayyad yang dalam riwayat ini Ibnu Umar mengatakan, ".. .sehingga beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjumpainya sedang bermain-main dengan anak-anak kecil di suatu lembah Bani Mughalali, dan ketika itu Ibnu Shayyad sudah hampir dewasa." [Shahih Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Kaifa Yu 'rodhu Al- Islam 'ala Ash-Shabiyyi 6: 172]

Jawaban kedua ini dipilih oleh Al-Qadhi 'iyadh. [Syarah Muslim oleh An-Nawawi 18: 48]

3. Jawaban ketiga yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Shayyad tidak mendakwakan kenabian secara terang-terangan, ia hanya mendakwakan risalah (kerasulan / keterutusan), sedangkan mendakwakan kerasulan tidak mesti mendakwakan kenabian.

Allah berfirman:

"Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Kami telah mengutus (irsal) syetan-syetan kepada orang-orang kafir?" (Maryam: 83). [Fathul-Bari 6: 174]

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG IBNU SHAYYAD

Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata, "Yang benar bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal berdasarkan dilalah (petunjuk / dalil) terdahulu, dan tidak ada yang menghalanginya untuk berada di pulau tersebut pada waktu itu dan berada di tengah-tengah para, sahabat pada waktu itu yang lain." [At-Tadzkiroh. 702]

Imam Nawawi berkata, "Para ulama mengatakan, "Kisahnya sangat musykil (sukar difahami) dan masalahnya samar-samar, apakah dia itu Al-Masih Ad-Daijal yang terkenal itu ataukah lainnya? Tetapi tidak disangsikan lagi bahwa dia adalah salah satu Dajjal (pendusta besar) di antara dajjal-dajjal."

Para ulama itu mengatakan, "Zhahir hadits-hadits itu menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mendapat wahyu yang menerangkan apakah Ibnu Shayyad itu Al-Masih Ad-Dajjal atau bukan, tetapi beliau hanya mendapat wahyu mengenai ciri-ciri Dajjal, sedangkan pada diri Ibnu Shayyad ada kemiripan dengan ciri-ciri tersebut. Karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memastikan Ibnu Shayyad itu sebagai Dajjal atau bukan. Dan karena itu pula beliau berkata kepada Umar Radhiyallahu anhu, "Jika Ibnu Shayyad itu adalah Dajjal, maka engkau tidak akan dapat membunuhnya." Adapun alasan Ibnu Shayyad bahwa dia itu muslim sedang Dajjal itu kafir, bahwa Dajjal tidak punya anak sedang dia punya anak, dan bahwa Dajjal tidak akan dapat memasuki kota Makkah dan Madinah sedang dia (Ibnu Shayyad) telah memasuki kota Madinah dan sedang menuju ke Makkah, maka alasannya itu tidak cukup kuat untuk menunjukkan bahwa dia bukan Dajjal, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya memberitahukan tentang ciri-cirinya pada waktu ia menyebarkan fitnah dan keluar dari bumi. Dan di antara kemiripan ceritanya dan keberadaannya sebagai salah seorang Dajjal pembohong ialah perkataannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, " Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah utusan Allah." Dan pengakuannya bahwa dia didatangi oleh seorang yang jujur dan seorang pembohong, bahwa dia melihat 'Arsy di atas air, dia tidak benci kalau ia sebagai Dajjal, dia mengetahui tempatnya. dan perkataannya, " Sesungguhnya aku mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya serta di mana ia sekarang berada," dan kesombongannya yang memenuhi jalan. Adapun dia menampakkan Islamnya, argumentasinya, jihadnya, dan penghindarannya dari anggapan sebagai Dajjal tidak tegas menunjukkan bahwa dia bukan Dajjal." [Syarah Muslim oleh Imam An-Nawawi 18: 46-47]

Perkataan Imam Nawawi di atas dapat difahami bahwa beliau menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad itu adalah Dajjal.

Imam Syaukani berkata, "Orang-orang berbeda pendapat mengenai masalah Ibnu Shayyad dengan perbedaan yang tajam, dan memang perkaranya sangat musykil sehingga timbul berbagai pendapat. Dan zhahir hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa sangsi apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan, maka keraguan beliau ini dapat dijawab dengan dua jawaban.

Pertama.
Bahwa keragu-raguan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah sebelum Allah memberitahukan kepada beliau bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Maka ketika Allah telah memberitahukan hal itu kepada beliau, beliau tidak mengingkari sumpah Umar.

Kedua.
Bangsa Arab kadang-kadang mengucapkan kata-kata. dengan nada ragu-ragu, meskipun berita itu tidak meragukan.

Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa Ibnu Shayyad itu Dajjal ialah riwayat yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq dengan isnad yang shahih dari Ibnu Umar, ia berkata, "Pada suatu hari saya berjumpa Ibnu Shayyad bersama Yahudi. dan ternyata sebelah matanya tuna netra dan tersembul keluar seperti mata himar. Ketika saya melihatnya, saya bertanya, "Wahai Ibnu Shayyad, saya minta engkau bersaksi karena Allah, sejak kapankah matamu buta?" la menjawab, "Saya tidak tahu, demi Tuhan Yang Rahman." Saya berkata, "Engkau berdusta, bagaimana mungkin engkau tidak tahu sedangkan mata itu ada di kepalamu?" Lalu ia mengusapnya dan menarik nafas panjang tiga kali." [Nailul Author Syarh Muntaqa Al-Akhbar 7: 230-231 oleh Asy-Syaukani, terbitan Musthafa Al-Babi, Mesir]

Riwayat serupa juga telah disebutkan di muka sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Perkataan Imam Syaukani ini menyiratkan makna bahwa beliau sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal yang besar (yang bakal muncul pada akhir zaman).

Dalam mengomentari hadits Tamim ini Al-Baihaqi berkata, "Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa Dajjal terbesar yang akan keluar pada akhir zaman itu bukanlah Ibnu Shayyad, dan Ibnu Shayyad adalah salah satu dari dajjal-dajjal pembohong yang diberitahukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan kemunculannya, dan sebagian besar mereka telah muncul. Seolah-olah orang yang menetapkan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal (terbesar), mereka tidak mendengar kisah Tamim. Sebab, jika tidak demikian, maka mengkompromikan antara keduanya sangat jauh (tidak mungkin), karena bagaimana dapat disesuaikan antara orang yang ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup dia baru menginjak dewasa dan bertemu dengan beliau serta ditanya oleh beliau, tetapi kemudian menjadi seorang yang sudah tua sekali dan di penjara di sebuah pulau di tengah lautan dengan dirantai besi, dan dia menanyakan tentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apakah beliau sudah muncul ataukah belum. Maka pendapat yang lebih cocok ialah tentang tidak adanya kejelasan yang pasti. Adapun sumpah Umar, maka boleh jadi hal itu dilakukannya sebelum ia mendengar kisah Tamim. Kemudian setelah mendengarnya, ia tidak berani lagi mengulangi sumpahnya. Adapun Jabir mcngemukakan sumpahnya di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah karena ia tahu Umar bersumpah di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas ia mengikutinya." [Fathul-Bari 13: 326-327]

Saya berkata, "Tetapi Jabir Radhiyallahu 'anhu adalah salah seorang perawi hadits Tamim sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Dawud ketika beliau meriwayatkan kisah Al-Jassasah dan Dajjal seperti kisah Tamim." Kemudian Ibnu Abi Salamah berkata. "Sesungguhnya dalam hadits ini terdapat sesuatu yang tidak saya hafal. Katanya. "Jabir bersaksi bahwa Dajjal adalah Ibnu Shaaid." Saya (Ibnu Abi Salamah) berkata. "la (Ibnu Shaaid) telah meninggal dunia." Ia menjawab, "Meskipun lelah meninggal dunia." Saya berkata, "Ia telah masuk Islam." la menjawab, "Meskipun ia telah masuk Islam." Saya berkata, "Ia telah memasuki kota Madinah." la menjawab, "Meskipun ia pernah memasuki kota Madinah." [Sunan Abu Daud dengan Syarahi 'Aunul Ma'bud Kitab Al-Malahim, Bab Fi Khobar Al-Jassasah 11: 476]

Maka Jabir ra tetap berpendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. meskipun ada yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad telah masuk Islam, pernah memasuki kota Madinah. dan telah meninggal dunia. Dan telah disebutkan di muka bahwa Jabir radhiyallahu 'anhu berkata, "Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas."

Ibnu Hajar berkata, "Abu Nu'aim Al-Ashbahani meriwayatkan dalam Tarikh Ashbahan yang memperkuat pendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. lalu beliau membawakan riwayat dari jalan Syubail bin Urzah dari Hassan bin Abdur Rahman dari ayahnya, ia berkata. "Ketika kami menaklukkan Ashbahan, maka jarak antara lasykar kami dengan Yahudi hanya satu farsakh, maka kami datangi tempat itu dari arah yang sesuai dengan pilihan kami. Pada suatu hari saya datang ke sana, ternyata orang-orang Yahudi sedang berpesta dan memukul gendang, lalu saya bertanya kepada teman saya dari golongan mereka. Kemudian dia menjawab, "Raja kami yang kami mintai pertolongan untuk mengalahkan bangsa Arab sedang tiba." Lalu saya bermalam di loteng rumah teman saya itu, kemudian saya melakukan shalat Shubuh. Ketika matahari terbit, terjadilah keributan di kalangan tentara, lalu saya lihat, ternyata ada seorang lelaki yang memakai kopiah dari tumbuh-tumbuhan yang harum, dan orang-orang Yahudi berpesta memukul gendang. Setelah saya perhatikan ternyata dia Ibnu Shayyad, lantas dia masuk Madinah dan tidak kembali lagi hingga datangnya As-Sa'-ah." [Dzikir Akhbar Ashbahan: 387-388 oleh Abu Nu'aim; Fathul-Bari 3: 327-328]

Ibnu Hajar berkata, "Tidak ada relevansi antara riwayat Jabir (yang kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas) ini dengan riwayat Hassan bin Abdur Rahman, sebab penaklukan Ashbahan itu terjadi pada masa kekhalifahan Umar sebagaimana diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Tarikhnya (Tarikh Ashbahan), sedang antara masa terbunuhnya Umar dengan peristiwa musim panas itu berselang waktu sekitar empat puluh tahun. Maka boleh jadi peristiwa itu disaksikan oleh ayah Hassan setelah berlalunya penaklukkan Ashbahan sekian lama. Dan di dalam pemberitaan yang menggunakan kata-kata ketika (lammaa) pada kalimat ketika kami telah menaklukkan Ashbahan ada bagian kalimat syarat ketika.... yang ditaqdirkan berbunyi: "Kami mengadakan perjanjian (ikatan) dengannya dan saya sering pulang balik ke sana," lalu terjadi peristiwa Ibnu Shayyad. Maka masa penaklukan Asbahan dan masuknya Ibnu Shayyad ke Madinah tidaklah dalam satu waktu."[Fathul-Bari 3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah Ibnu Shayyad ini merupakan sesuatu yang musykil (sulit) bagi sebagian sahabat. lalu mereka mengiranya Dajjal. sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tawaqquf (diam saja) mengenai masalah ini sehinngga nyata sesudahnya bahwa dia bukan. Dajjal, melainkan sejenis dukun yang berperikeadaan syetan., karena itu beliau pergi ke sana untuk mengujinya. [Periksa Al-Furqon Baina auliyair rahman wa Auliyaisy-syaiton: 77, cetakan kedua, tahun 1375 H, Terbitan Mathabiur Riyadh]

Ibnu Katsir berkata, "maksudnya bahwa Ibnu Shayyad itu bukan dajjal yang kelak akan keluar pada akhir zaman, berdasarkan hadits Fatimah binti Qais Al-fihriyyah ini merupakan pemilahan dalam masalah tersebut" [An-Nihayah Fil Fitan wal malahim 1:70 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]

Bersambung . . . . . .

Sumber : berbagai refferensi
Image : chillinaris.wordpress.com

.

.

.

ARTIKEL TERKAIT ADA DIBAWAH SPONSOR (DIBAWAH INI).

Artikel Terkait