Abstrak
Banger merupakan sebuah nama wilayah yang sebelum
nama Probolinggo ada. Nama banger tersebut merupakan nama salah satu sungai
yang ada di Probolinggo. Kali Banger merupakan sungai utama di Probolinggo yang
memiliki peran penting dalam bidang perdagangan. kapal-kapal pedagang China
bisa masuk hingga ke tengah Kota Probolinggo. Ini menunjukkan Kali Banger bisa
menjadi jalur strategis. sejak tahun 1770 nama wilayah Banger berubah nama dan
diganti dengan probolinggo. Penggantian nama tersebut juga membuat aura dari
Kali Banger semakin meredup di mata masyarakat sekitar bantaran. Kondisi itu
semakin diperparah dengan tidak berfungsinya Kali Banger sebagai jalur
perahu-perahu Niaga lagi.
Kabupaten Probolinggo adalah salah
satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini dikelilingi
oleh Gunung Semeru, Gunung Argopuro, dan Pegunungan Tengger. Kabupaten
Probolinggo mempunyai semboyan "Prasadja Ngesti Wibawa". Makna
semboyan tersebut adalah “Dengan rasa tulus ikhlas (bersahaja, jujur, bares)
menuju kemuliaan”.
Ketika seluruh Wilayah Nusantara
dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka), Patih
Gajah Mada telah dapat mewujudkan ikrarnya dalam Sumpah Palapa, menyambut
keberhasilan ini, Raja Hayam Wuruk berkenan untuk berkeliling negaranya.
Perjalanan muhibah ini terlaksana pada tahun 1359 M (1281 Saka).
Menyertai perjalanan bersejarah
ini, Empu Prapanca seorang pujangga ahli sastra melukiskan dengan kata-kata,
Sang Baginda Prabu Hayam Wuruk merasa suka cita dan kagum, menyaksikan panorama
alam yang sangat mempesona di kawasan yang disinggahi ini. Masyarakatnya
ramah,tempat peribadatannya anggun dan tenang, memberikan ketenteraman dan
kedamaian serta mengesankan. Penyambutannya meriah aneka suguhan disajikan,
membuat Baginda bersantap dengan lahap. Taman dan darma pasogatan yang elok
permai menyebabkan Sang Prabu terlena dalam kesenangan dan menjadi kerasan.
Ketika rombongan tamu agung ini
hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu diliputi rasa sedih karena enggan
untuk berpisah. Saat perpisahan diliputi rasa duka cita, bercampur bangga.
Karena Sang Prabu Maha Raja junjungannya berkenan mengunjungi dan singgah
berlama-lama di tempat ini. Sejak itu warga di sini menandai tempat ini dengan
sebutan Prabu Linggih. Artinya tempat persinggahan Sang Prabu sebagai tamu
Agung. Sebutan Prabu Linggih selanjutnya mengalami proses perubahan ucap hingga
kemudian berubah menjadi Probo Linggo. Maka sebutan itu kini menjadi Probolinggo.
PERKEMBANGAN WILAYAH PROBOLINGGO
Kerajaan Singasari (1222-1292)
Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, wilayah Probolinggo
menjadi bagian dari Kerajaan Singosari dibawah Raja Saminingrat (Wisnuwardana)
tahun 1248-1254. Wilayah itu menjadi bagian dari Lumajang yang diperintah oleh
Nararya Kirana, raja bawahan Singasari hingga masa raja Kertanegara.
(1254-1293). Pada periode itu, nama-nama daerah baik pada tingkatan dusun,
wanua, kuwu, hingga watek
masih belum muncul di wilayah Probolinggo. Status wilayah
Probolinggo masih dibawah kendali raja bawahan Singosari di Lumajang.
2. Masa Majapahit
Pada
masa Majapahit posisi Probolinggo terletak di wilayah Wirabhumi (Balambangan),
yang menurut Negara Kertagama di bawah Natha (Gubernur) Nagarawardhani,
dan dalam Prasasti Suradakan : Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari.
Di wilayah Wirabhumi atau Blambangan
ini kita coba telusuri munculnya nama-nama wilayah atau komunitas berdasarkan informasi
Negara Krtagama. Negara Krtagama, Pupuh 3: mengkisahkan tentang perjalanan
Hayam Wuruk ke wilayah Timur pada tahun 1359 M. Yang menarik dari Kakawin itu
adalah adanya upaya inventarisasi nama-nama wilayah oleh Prapanca. Dari Negara
Krtagama diketahui bahwa ketika Hayam Wuruk sampai di wilayah Probolinggo,
Prapanca mencatat nama-nama desa dan
kuwu. Nama Banger,
Sagara, Pajarakan, Gendhing, Buluh, Gedhe, Arya, Bermi (Baremi), Keboncandi,
Sajabung, dan Pabayeman.
Ketika Raja Hayam Wuruk sampai di Desa Jabungsisir, sang raja
menghadiahkan sebidang tanah perdikan, dan sebuah candi Budha kepada Tumenggung
Nala yang berkuasa di Jabungsisir. Dalam Pararaton, juga disebutkan jika di
daerah Sajabung (kini Jabungsisir) bangunan suci itu (candi) adalah Abiseka
Bajranaparamitapura. Ketika rombongan raja meninjau sebuah
komunitas keagamaan mandhala di
daerah Tongas (Probolinggo), di sana melakukan upacara keagamaan di kuil
setempat, serta menerima upeti dari sebelas komunitas Budhis, dan tiga desa
pegunungan Lumbang, Pancur, dan Trenggilis.
“Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) Raja
Majapahit yang ke IV (1350-1389 M) Probolinggo dikenal dengan nama “Banger”
nama sungai yang mengalir di tengah banger ini. Banger merupakan pedukuhan
kecil dibawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal di buku
Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga kerajaan Majapahit yang dikenal
yaitu Prapanca” (Basri, 2004:9).
Dalam upaya mendekatkan diri dengan
rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah
Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan
Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat
sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat
sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya. Dalam
perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa
Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah
administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi,
Mangunharjo, Wiroborang).
Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di
desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh
sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359
Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas
Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan
dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi
landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.
Sejalan dengan perkembangan politik
kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger juga
mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan zaman.
Semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger, kemudian berkembang
manjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit. Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa,
Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula
oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre
Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal
dengan “Perang Paregreg”. Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau
amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden
Damarwulan.
3. Masa Kerajaan Supit Urang (Sengguruh) Abad XVI-XVII)
Kerajaan
Supit Urang sering disebut Sengguruh. Sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit pada
1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan keturunan patih
Majapahit, yang (menurut Tome Pires sebagai Gusti Pate) pada hari-hari terakhir
kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, menurut penulis
Portugis itu pada sekitar tahun 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pate dari
Sengguruh. Sengguruh tunduk pada kekuasaan maharaja Hindu. Pusat
pemerintahannya terletak di bagian hulu sungai Brantas, di Malang Selatan.
Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir
melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit terakhir
yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara Serat
Kandha, babad Sangkala, dan cerita tutur Jawa. Menurut Rouffaer, kerajaan itu
merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Wilayahnya meliputi: Pasuruan,
Malang dan Probolinggo.
Beberapa ahli ada yang menduga bahwa pusat kerajaan ini di
daerah pegunungan Tengger. Sebuah kenyataan adalah bahwa hari-hari masa lalu di
Probolinggo dalam keterangan sering muncul istilah kerajaan Supit Urang, di
mana Probolinggo termasuk wilayahnya pada jaman dahulu. Kebanyakan orang yakin
bahwa pusat kerajaan ini terletak di Tengger.
Supit
Urang pada tahun 1639 dihancurkan dalam penyerangan Sultan Agung ke Blambangan
dan penduduknya diangkut ke Mataram sebagian sebagai tawanan. Sebelumnya pada
tahun 1587 Pasuruan ditaklukan oleh Senopati dari Mataram. Di sini sebuah
kerajaan didirikan di bawah kekuasaan Mataram, yang menggunakan sebagai pintu
gerbang bagi para Sultan Islam dalam penyerangan dan penaklukan mereka atas
Blambangan. Berulang kali pasukan Mataram dalam gerakan militernya melewati
Probolinggo. Ini dimulai pada tahun 1597 ketika perang meledak antara raja-raja
Pasuruan dan Blambangan. Pada tahun 1599 Panarukan direbut oleh Pasuruan dan dihancurkan,
pada kesempatan ini di sana sebuah rumah paderi Portugis Capucijner dihacurkan.
4. Masa Kerajaan Blambangan- Hindia Belanda (XVI-XX)
Wilayah Blambangan raya semula hanya dikenal pusat
pemerintahannya saja yaitu di Lamajang pada zaman Kameswara. Luasnya meliputi
garis pegunungan Tengger ke Timur batas Selat Bali. Kemudian Blambangan Raya
ini lebih dikenal dengan nama Wirabhumi pada zaman Majapahit, karena pada masa
Raja Hayam Wuruk, wilayah itu dibawah raja bawahan Bre Wirabhumi. Sejak
Majapahit diperintah oleh Dyah Ranawijaya (1486-1527), nama Wirabhumi sudah
tenggelam, sebagai gantinya muncul nama Blambangan dengan luas wilayah sebelah
barat berbatasan garis Gunung Semeru-Tengger ke Selat Bali. Blambangan saat itu
diperintah oleh Dinasti Mas Sembar yang masih di bawah kekuasaan Majapahit
dengan ibukota Panarukan (1600 M).
Pada
masa kejayaan Pangeran Tawangalun (Dinasti Mas Sembar) luas Blambangan mencakup
batas barat Blitar-Malang ke Utara hingga Banger ke Timur Selat Bali. Namun
sejak akhir pemerintahan Tawangalun, sekitar tahun 1690 M. Luas wilayah
Blambangan telah menciut. Beberapa wilayahnya melepaskan diri, termasuk di
dalamnya Banger. Banger telah dikuasai oleh Dinasti Jayalelana dari Buleleng
sampai tahun 1767, yang kemudian menjadi Probolinggo di bawah Pemerintahan VOC.
Menurut Surat GG. Reineir de Klerk kepada Raja Belanda
tertanggal Batavia/Jayakarta, 31 Desember 1781, Banger (Probolinggo) di bawah
pemerintahan Tumenggung Jayanegara yang merangkap pula sebagai Bupati Lumajang.
Bupati ini menggantikan Bupati Jayalelana Brayung pada tahun 1767.
Pada tahun 1850, wilayah Blambangan wilayahnya dibagi tiga
bagian. Bagian Barat adalah Kabupaten Probolinggo, bagian Tengah Kabupaten
Besuki, dan bagian Timur Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Probolinggo terdiri
dari tiga bagian, yaitu Probolinggo, Lamajang, dan Kraksan. Bagian Probolinggo
terdiri dari 5 distrik yaitu : Kota Probolinggo, Sumber Kareng, Tongas,
Tengger, dan Dringu. Bagian Lamajang terdiri 3 distrik : Kota Lamajang,
Kandangan, dan Ranu Lamongan. Bagian Kraksan terdiri dari 5 distrik : Gendhing,
Pajarakan, Kota Kraksan, Jabung dan Paiton. Pada tahun 1905, pada masa Hindia
Belanda, wilayah Blambangan telah dipecah menjadi 6 Kabupaten yaitu :
Banyuwangi, Panarukan, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Lumajang.
5.
Masa Kerajaan Surapati Abad XVII-XVIII
Surapati, keturunan Bali, putra budak, bekas perwira dalam
militer VOC, pada tahun 1686 mendirikan kerajaannya di Pasuruan. Wilayah ini
membentang atas daerah Blambangan seperti Panarukan, Lumajang dan Malang. Jadi
kerajaan ini juga mencakup Probolinggo. Kemudian (1717) Pasuruan kembali
melepaskan diri, namun Probolinggo, Panarukan, Lumajang dan Malang tetap berada
di tangannya.
Surapati
dan para putra dan cucunya, yang menggantikannya tetap menjadi orang Bali,
memeluk Hindu, bersumpah untuk selalu menentang Kompeni dengan segala cara.
Dengan Blambangan mereka berhubungan baik; saling mengikat perkawinan dan
persahabatan. Raja-raja Blambangan bersama dengan Surapati menjadi ancaman bagi
Kompeni. Orang-orang Blambangan hanya ingin melepaskan diri dari pengaruh Bali.
6. Masa Kerajaan Mataram Abad XVI-XVIII
Pada
Abad XVI-XVII, Kabupaten Probolinggo dikuasai Kerajaan Mataram setelah Sultan
Agung melancarkan ekspansi terhadap wilayah Blambangan (1635). Walaupun
Blambangan kemudian melancarkan aksi-aksi untuk melepaskan diri dari kekuasaan
Mataram bantuan dari Bali. Aksi-aksi tersebut baru dapat dipadamkan pada tahun
1640. Pada masa Kerajaan Mataram struktur pemerintahan pada dasarnya tidak
berbeda dengan masa Majapahit. Raja sebagai penguasa tertinggi berada di pusat
kerajaan, dibawahnya terdapat bupati wedana yang merupakan pengawas dan
koordinator para bupati, bupati/adipati pengusa kabupaten, demang pemimpin
kademangan, petinggi sebagai kepala desa dan pedukuhan yang dipimpin kepala
dukuh. Wilayah Mataram dibagi dalam susunan: kraton, kuthagara (ibukota),
negaragung, mancanegara (dan pasisiran). Mancanegara dan pesisiran dibedakan
wetan dan kilen, dengan demikian terdapat mancangara wetan, mancanegara kilen, pesisiran
wetan, pesisiran kilen. Posisi Probolinggo terletak di pesisiran wetan
berdasarkan struktur yang ada.
Pada masa Pemerintahan VOC, setelah
kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan
Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah Timur Pasuruan (termasuk
Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di
Banger, pada tahun 1746 VOC mengengkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama
di Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari
Kulon. Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Boen Djolodrijo (Kiem Boen), Patih
Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung Suropati).
Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono
dipengaruhi , diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger,
keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru
akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya,
terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali
tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayahnya dalam menentang/melawan
kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya tersebut, Kyai Djojolelono kemudian
menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun
1768, terus mengembara/lelono.
|
Makam Kyai Djojolelono |
Sebagai pengganti Kyai Djojolelono,
kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung
Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger kedua. Rumah
kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni tetap kompeni, bukan kompeni
kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono yang
tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Setelah wafat,
Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh masyarakat
dianggap sebagai makam keramat.
Di bawah pimpinan Tumenggung
Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk tambah banyak. Beliau
juga mendirikan Masjid Jami’ (± Tahun 1770). Karena sangat disenangi
masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada tahun 1770 nama
Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi
“Probolinggo” (Probo : sinar, linggo : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat).
Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud
adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean
belakang Masjid Jami.
Masa Emas Kali
Banger
|
Kali Banger (Bunitas-image) |
Kali Banger merupakan sungai utama
di Probolinggo. Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai
puncaknya pada tahun ±1900 M. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga
menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut
datang dari sekitar wilayah Probolinggo. Di
sungai ini, kapal-kapal pedagang China bahkan dari pulau Madura bisa masuk
hingga ke tengah Kota Probolinggo. Ini menunjukkan Kali Banger bisa menjadi
jalur strategis, Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka
perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat kota. Jalur perekonnomian
yang menggunakan Kali Banger berpusat di daerah bernama “Tambak Pasir”.
Kira-kira wilayah itu sekarang berada di pasar Baru kota Probolinggo.
Nama “Banger” sebagai
nama wilayah Kabupaten Probolinggo dipakai sebagai kebanggaan nama daerah,
sejak jaman Majapahit tahun 1365 hingga 1770 masa pemerintahan Bupati
Jayanegara. Sehingga setidak-tidaknya selama ± 405 tahun, nama “Banger” selalu
terpatri dan mengisi dokumen-dokumen perjalanan sejarah Kabupaten Probolinggo
masa lalu, hingga melegenda sampai sekarang. Selama masa Kerajaan Majapahit,
hingga jaman penjajahan kumpeni VOC, sebelum Masa Bupati Jayanegara, semua
catatan sejarah tentunya mencatatnya sebagai nama “Banger”. Sehingga dapat
disimpulkan semasa pemerintahan Wangsa Djajalelana selama kurun waktu empat,
s/d lima keturunan (1679 – 1770), nama “Banger” sebagai kebanggaan daerah yang
mempunyai sungai kecil, dengan letaknya yang sangat strategis mengalir di
tengah kota sebagai sentral perniagaan perekonomian ketika itu menjadi daerah
yang cukup diperhitungkan.
Terbukti dalam catatan sejarah dari
laporan-laporan VOC penguasa daerah timur selama itu selalu menyebutnya laporan
dari “Bupati Banger“. Pada jaman Bupati Djajalelana I yang terprediksi
memerintah tahun 1679 s/d 1697, nama “Banger “ diabadikan untuk nama putera
pertamanya yaitu “Mas Bagus Banger”. Selain itu pada saat itu pula sering
terdengar nama “Kanjeng Banger”, yang konon berselisih dengan Panembahan Meru
dari Tengger. masa pemerintahan bupati Jayanegara keturunan dari kasepuhan
Surabaya, nama “Banger” dirubah menjadi “Probolinggo”, asal kata dari “Probo”
artinya “Sinar”, sedangkan “Linggo” artinya “Badan” atau “Tugu” sebagai tanda
peringatan. Dalam pada itu masih sejaman dengan perubahan nama Banger menjadi
Probolinggo, kita ketemukan adanya nama desa Wirolinggo, (dalam peta) di
selatan desa Pangger (Randupangger), dan Maniklinggo nama Blambangan lama.
Mungkinkah perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, terilhami oleh nama-nama
itu, masih perlu penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan hasil penelitian
lapangan yang telah dilakukan tgl. 12 Nopember 2005, situs sungai/kali “Banger”
saat ini panjangnya ± 6,4 km. Hulu sungai terdapat di DAM Air Desa Pakistaji,
sedangkan muara sungai terdapat di Desa Mangunharja, dukuh Tajungan sebelah
timur DOK pelabuhan menuju ke laut lepas. Situs Sungai Banger tidak berfungsi
untuk mengairi sawah, karena tidak ada cakupan baku sawah, sehingga berfungsi
sebagai Drainase (saluran pematusan / pembuagan air non irigasi). Bila
diurutkan dari arah selatan Sungai Banger / Kali Banger bersumber dari dua
tempat, sebelah barat dari sumber air Andi, sedangkan di sebelah timur dari
sumber air bedungan Kedunggaleng, melewati bendugan Kedungmiri, bendungan
Sukun, bendungan Randu, bendungan Gladakserang. Di kelurahan Jrebeng, dan
Kanigaran sungai pecah menjadi dua (2), di sebelah barat namanya tetap sungai
Banger, sedangkan di sebelah timur bernama sungai Pancor.
Probolinggo Menjadi Tanah Partikelir
Pada masa pemerintahan/kekuasaan Gubernur Jenderal Meester Herman
William Daendels, yang terkenal dengan pemerintahan tangan besinya, mengada-kan
perubahan-perubahan dalam pemerintahan. “Sejak masa Kerajaan Mataram hingga
kini merupakan kawasan subur dan kaya hasil bumi. Kawasan ini menjadi aset
bernilai tinggi bagi para penguasa pulau Jawa dan digunakan sebagai modal untuk
mempertahankan kekuasaannya. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman
Willem Daendels, Probolinggo adalah salah satu kawasan yang dijual sebagai
tanah partikelir demi melancarkan pembuatan jalan raya pos (De Grote Postweg)
Anyer – Panarukan” (Susanto, 2008:75).
Gubernur Jenderal Meester
Herman William Daendels juga banyak menjual tanah negara kepada bangsa asing.
“Transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh kabupaten Probolinggo di Jawa
Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko, dengan harga satu juta dolar. Ini, dan
beberapa transaksi lain, murni usaha spekulatif
di pihak pembeli. Untunglah Daendels memerintah cukup lama sehingga
sehingga bisa sepenuhnya menjalankan rencana-rencananya, yang akan berakibat
separuh penduduk Jawa terpuruk menjadi hamba sahaya, taillable et corveable a merci (yang bisa diapakan saja oleh
tuannya)” (Vlekke, 1958:283). Pusat Pemerintahan (Kabupaten) dipindahkan di
sebelah Selatan Alun-alun, seperti keadaan sekarang ini.
Gemeente (Kota) Probolinggo
Pada
masa Pemerintahan Raden Adipati Ario Nitinegoro, Bupati Probolinggo ke 17,
Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Gemeente Probolinggo” (Kota Probolinggo)
pada tanggal 1 Juli 1918. Tanggal 1 Juli 1918 kemudian dijadikan sebagai hari
jadinya Pemerintah Kota Probolinggo. Bersamaan dengan HUT Bhayangkara, tanggal
1 Juli oleh Pemerintah Kota madya Probolinggo telah beberapa kali diperingati
sebagai hari jadi / HUT Pemerintah Kota Probolinggo. Tahun 1926 Gemeente diubah
menjadi Stads Gemeente berdasarkan Stbl 365 Tahun 1926. Gemeente Probolinggo
selanjutnya menjadi Kota Probolinggo berdasarkan Ordonansi pembentukan
kota (Stbl. 1928 No.500).
Sejak
tahun 1918 Gemeente Probolinggo dipegang/dijabat oleh seorang Asisten Residen
(di bawah Karesidenan Pasuruan). Baru tahun 1928 diangkat seorang Burgemeester
(Walikota) sebagai kepala daerah yang berkuasa penuh. Pada tahun 1929
Probolinggo pernah menjadi Ibukota Karesidenan Probolinggo. Burgemeester
(Walikota) Probolinggo pertama ialah Tn. Meyer. Tahun 1935 pangkat Burgemeester
untuk Stadsgemeente Probolinggo dihapus dan sebagai pejabat diangkat Asisten
Residen yang berkedudukan di Probolinggo (1935-1942) yaitu LA. de Graaf dan
diganti L. Noe.
Pemerintah Kota Probolinggo Di Awal Indonesia
Merdeka
Pemerintah
penjajah/Hindia Belanda setelah kekuasaanya di Indonesia diganti oleh
pemerintah/ penjajah Jepang dan kemudian Indonesia menjadi negara merdeka,
berambisi kembali untuk tetap menguasai/menjajah Indonesia. Tanggal 21 Juli
1947 Kota Probolinggo diduduki oleh tentara kolonial Belanda. Diangkatlah
seorang Asisten Residen Bayangan dan sebagai Bergemeester diangkat Saudara
Saroso Harsono menjadi Walikota RI. Pada masa Pemerintahan Raden Soejoed Alip,
Bupati Probolinggo ke 21, Kabupaten Probolinggo pada pertengahan bulan Pebruari
1948 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo
(berdasarkan Staatsblad 1948 No. 201). Gemeente Probolinggo dihapus dan
disatukan dengan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 306).
Daftar Rujukan
Basri, Syachrial. 2004. Kota Probolinggo Menuju Masa Depan. Probolinggo:
Pemerintah Kota Probolinggo.
Susanto, Agus. 2008. Ekspedisi Anjer Panaroekan.Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara.
Vlekke, Bernard H.M. 1958. Nusantara Sejarah Indonesia. Leiden:
Universitas Leiden.
Sumber : neeprinses.blogspot.com
PEMANDU ZIARAH KEMAKAM-MAKAM
BalasHapusWALI DI JAKARTA & TANGERANG
- Makam Habib Hasan Bin Muhammad Alhadad (Mbah Priuk)
- Makam Habib Husain Bin Abu Bakar Al-Idrus (Kramat Luar Batang)
- Makam Habib Ja,far
- Makam Habib Syarif Hamid Bin Muhammad Al-Kadri
- Makam Syekh Waliyudin Tangerang
- Makam Habib Abdullah Ali Al Uraidi (Keramat Panjang)
- Makam Pangeran Wijayakusuma
- Makam Pangeran Surya Kencana asal mataram
- Makam Mbah Bagong
- Makam Raden Saleh
- Makam Kibuyut Resem
- Makam Pangeran Sebrang Lor
- Makam Kumpi Keramat Panjang
- Makam Raden Mas Kai-kai
- Makam Pangerang Lang-lang Buana
- Dan makam-makam di Jakarta & Tangerang Lain
Dapat Membawa Rombongan Jamaah / Perorangan
Fasilitas :
- Penginapan/Transit sebelum kemakam
- Kendaraan pakai Motor/Mobil
- Diantar
Soal Biaya HUBUNGI/SMS : 081383253186 (Abdul)
Pemandu
Asli Orang Jakarta