Senin, 22 Februari 2010
Problematika Nikah Sirri
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang diajukan Tim PUG Depag pada tahun 2004 menyatakan secara tegas bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan (pasal 6). Tanpa pencatatan, perkawinan batal secara hukum dan pelakunya harus mendapatkan sanksi karena telah melanggar hukum yang berlaku. Hanya draft CLD KHI belum sampai merumuskan secara konkret sanksi hukum terhadap pelanggar.
Karena itu, dapatlah dipahami respons yang sangat kuat terhadap Rancangan Undang-Undang Materiil Peradilan Agama (RUU MPA) di bidang perkawinan akhir-akhir ini. Sebab, RUU tersebut merumuskan sanksi pemidanaan bagi mereka yang menikah tanpa pencatatan atau dikenal dengan kawin sirri (pasal 143). Spiritnya adalah memberikan proteksi terhadap istri dan anak-anak. Selama ini merekalah yang paling banyak merasakan kesengsaraan akibat tiadanya pencatatan perkawinan yang menjadi bukti legal bagi pemenuhan hak-hak mereka. Bahkan, juga memproteksi laki-laki dari tuntutan orang-orang yang mengaku istri atau anak.
Tanpa akta nikah, berarti tak ada proteksi hukum bagi istri dan anak-anak. Hal ini seharusnya menyadarkan masyarakat untuk tidak menikah secara sirri. Jika terjadi masalah dalam perkawinan, sangat sulit bagi istri dan anak-anak untuk memperoleh hak-haknya, seperti hak nafkah, hak tunjangan, hak waris dan hak istri atas harta gono-gini, serta sejumlah hak yang lain.
Karena itu, pencatatan perkawinan bukan dimaksudkan sebagai intervensi negara terhadap masalah agama, melainkan harus dilihat dalam konteks pemenuhan hak-hak sipil warga. Adalah kewajiban negara mencatat perkawinan dan peristiwa vital lain dalam kehidupan warganya.
Mengapa Kawin Sirri ?
Istilah kawin sirri mengacu pada bentuk perkawinan yang tidak dicatatkan di institusi negara yang berwenang, yakni KUA (Kantor Urusan Agama) bagi umat Islam dan KCS (Kantor Catatan Sipil) bagi non-muslim. Ada sejumlah alasan mengapa perkawinan tidak dicatatkan. Namun alasan yang mengemuka adalah :
1. Mempelai laki-laki masih terikat perkawinan.
2. Mempelai laki-laki tidak memiliki identitas diri yang jelas, umumnya karena pendatang atau orang asing.
3. Mempelai perempuan tidak mendapat restu dari orang tua atau walinya.
4. Mempelai laki-laki-dan ada juga perempuan, hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual, bukan untuk tujuan membentuk keluarga sakinah yang penuh mawaddah wa rahmah.
5. Mempelai laki-laki kawin dengan perempuan dibawah umur atau anak-anak (pedofili).
6. dan Untuk tujuan trafficking.
Perkawinan merupakan cara paling mudah merenggut anak-anak perempuan dari keluarganya.
Kalau laki-laki dan perempuan sungguh-sungguh punya niat baik untuk membangun keluarga sakinah sebagaimana dianjurkan Islam, mengapa mereka menghindari pencatatan? Karena itu, dapat dipastikan bahwa kawin/nikah sirri hanya dilakukan oleh mereka yang bermasalah atau punya maksud-maksud tidak terpuji.
Alasan sangat dangkal.
Paling tidak, ada tiga argumentasi kelompok pro kawin sirri, yaitu :
1. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama warganya.
2. Kalau kawin sirri dilarang, dan apalagi dianggap perbuatan kriminal, prostitusi menjadi marak.
3. Kawin sirri sah dalam ajaran Islam.
Tampak jelas bahwa ketiga alasan tersebut sangat lemah dan terkesan mengada-ada.
Dibawah ini jawaban ketiga alasan diatas :
Pertama, pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk mencampuri urusan agama masyarakat. Sebab, pencatatan sejatinya merupakan kewajiban negara dengan tujuan memproteksi warga. Pencatatan ditujukan kepada semua warga negara tanpa melihat agamanya. Dokumen HAM internasional menggariskan kewajiban negara mencatat seluruh peristiwa vital dalam kehidupan warga, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian. Itulah yang disebut catatan sipil. Semakin maju dan modern sebuah negara, semakin tertib dan rapi catatan sipilnya.
Sejumlah negara Islam, seperti Jordan, mewajibkan pencatatan perkawinan, dan mereka yang melanggar terkena sanksi pidana. Undang-Undang Perkawinan Jordan tahun 1976, pasal 17 menjelaskan bahwa mempelai laki-laki berkewajiban mendatangkan qadhi atau wakilnya dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana ditunjuk oleh qadhi mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, semua pihak yang terlibat dalam upacara perkawinan, yaitu kedua mempelai, wali dan saksi-saksi dapat dikenai hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar.
Kedua, kalau kawin sirri dilarang dan apalagi dianggap perbuatan kriminal, perzinaan akan semakin merebak.
Ini pandangan yang sangat dangkal dan juga keliru. Sebagai makhluk bermartabat, manusia dianugerahi pilihan bebas. Manusia memiliki banyak pilihan dalam hidupnya, bukan hanya kawin sirri dan prostitusi. Manusia dapat memilih kawin sesuai hukum; atau menunda kawin dan menyibukkan diri dengan aktivitas sosial; atau berpuasa agar dapat mengolah dan mengelola syahwat. Dan sejumlah pilihan positif lainnya.
Dengan dibolehkannya kawin sirri, prostitusi terselubung semakin merebak. Sebagian orang menyebut kawin sirri sebagai prostitusi dengan ijab qabul. Secara kasatmata di masyarakat banyak dijumpai "mafia" yang menawarkan paket kawin sirri. Di dalamnya sudah termasuk penghulu liar (bukan dari KUA), saksi dan wali yang semuanya serba dibayar. Lalu, apakah perbuatan rekayasa demikian masih pantas disebut perkawinan yang dalam Islam mengandung nilai ibadah? Apakah pantas disebut ibadah jika proses dan prosedurnya sarat dengan tindakan manipulasi dan menghalalkan segala cara? Belum lagi, akibat dari kawin sirri menimbulkan banyak mudlarat, khususnya bagi istri dan anak.
Ketiga, perkawinan secara Islam tidak membutuhkan pencatatan. Memang betul soal pencatatan perkawinan tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih abad klasik. Sebab, ketika itu kehidupan manusia masih sangat sederhana, pencatatan belum menjadi kebutuhan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan yang demikian pesat akibat kemajuan teknologi dan dinamika masyarakat sesuai tuntutan zaman. Kehidupan manusia semakin kompleks dan rumit. Pencatatan menjadi suatu kebutuhan demi kemaslahatan manusia.
Argumentasi teologis sebagai landasan menjadikan pencatatan sebagai rukun atau syarat sahnya perkawinan sangat jelas, seperti :
a. Berqiyas kepada QS. Al-Baqarah ayat 282 yang mewajibkan pencatatan utang-piutang. Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa transaksi utang-piutang saja disyariatkan untuk dituliskan. Tentu akan lebih penting lagi mencatatkan akad (transaksi) yang mengikat kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan. Apalagi, perkawinan merupakan akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan). Qiyas tersebut dalam istilah ushul fiqih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang hukumnya pada furu' lebih kuat daripada yang melekat pada asalnya).
b. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW : " ......jangan melacur dan jangan melakukan pernikahan sirri", (lihat Kitab An-Nikah, Sunan At-Tirmidzi, hadits nomor 1008; Kitab An-Nikah, Sunan An-Nasai nomor 3316-3317; Kitab An-Nikah, Sunan Ibn Majah, hadits nomor 1886).
c. Bersandar pada sejumlah hadits menghimbau agar mengumumkan perkawinan (lihat As-Sarakhsi, al-Mabsut; V:31; Sunan At-Tirmidzi nomor 1009; Sunan Ibn Majah nomor 1885; dan Musnad Ahmad nomor 15545).
Terakhir, sangat relevan diungkapkan disini pernyataan Ibnu Al-Qayyim Al-Jawziyah, ahli fiqih Mazhab Hanbali. Beliau menulis dalam kitabnya, I'lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin : "Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kemaslahatan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, seperti keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam perbuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri".
Wallahu a'lam bi as-shawab.
Dipresentasikan oleh MUSDAH MULIA, Profesor Riset Bidang Lektur Agama dan Pendiri Lembaga Kajian Agama dan Gender, pada Koran Harian Jawa Pos, edisi Senin 22 Pebruari 2010.
image : masaguz.com
Karena itu, dapatlah dipahami respons yang sangat kuat terhadap Rancangan Undang-Undang Materiil Peradilan Agama (RUU MPA) di bidang perkawinan akhir-akhir ini. Sebab, RUU tersebut merumuskan sanksi pemidanaan bagi mereka yang menikah tanpa pencatatan atau dikenal dengan kawin sirri (pasal 143). Spiritnya adalah memberikan proteksi terhadap istri dan anak-anak. Selama ini merekalah yang paling banyak merasakan kesengsaraan akibat tiadanya pencatatan perkawinan yang menjadi bukti legal bagi pemenuhan hak-hak mereka. Bahkan, juga memproteksi laki-laki dari tuntutan orang-orang yang mengaku istri atau anak.
Tanpa akta nikah, berarti tak ada proteksi hukum bagi istri dan anak-anak. Hal ini seharusnya menyadarkan masyarakat untuk tidak menikah secara sirri. Jika terjadi masalah dalam perkawinan, sangat sulit bagi istri dan anak-anak untuk memperoleh hak-haknya, seperti hak nafkah, hak tunjangan, hak waris dan hak istri atas harta gono-gini, serta sejumlah hak yang lain.
Karena itu, pencatatan perkawinan bukan dimaksudkan sebagai intervensi negara terhadap masalah agama, melainkan harus dilihat dalam konteks pemenuhan hak-hak sipil warga. Adalah kewajiban negara mencatat perkawinan dan peristiwa vital lain dalam kehidupan warganya.
Mengapa Kawin Sirri ?
Istilah kawin sirri mengacu pada bentuk perkawinan yang tidak dicatatkan di institusi negara yang berwenang, yakni KUA (Kantor Urusan Agama) bagi umat Islam dan KCS (Kantor Catatan Sipil) bagi non-muslim. Ada sejumlah alasan mengapa perkawinan tidak dicatatkan. Namun alasan yang mengemuka adalah :
1. Mempelai laki-laki masih terikat perkawinan.
2. Mempelai laki-laki tidak memiliki identitas diri yang jelas, umumnya karena pendatang atau orang asing.
3. Mempelai perempuan tidak mendapat restu dari orang tua atau walinya.
4. Mempelai laki-laki-dan ada juga perempuan, hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual, bukan untuk tujuan membentuk keluarga sakinah yang penuh mawaddah wa rahmah.
5. Mempelai laki-laki kawin dengan perempuan dibawah umur atau anak-anak (pedofili).
6. dan Untuk tujuan trafficking.
Perkawinan merupakan cara paling mudah merenggut anak-anak perempuan dari keluarganya.
Kalau laki-laki dan perempuan sungguh-sungguh punya niat baik untuk membangun keluarga sakinah sebagaimana dianjurkan Islam, mengapa mereka menghindari pencatatan? Karena itu, dapat dipastikan bahwa kawin/nikah sirri hanya dilakukan oleh mereka yang bermasalah atau punya maksud-maksud tidak terpuji.
Alasan sangat dangkal.
Paling tidak, ada tiga argumentasi kelompok pro kawin sirri, yaitu :
1. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama warganya.
2. Kalau kawin sirri dilarang, dan apalagi dianggap perbuatan kriminal, prostitusi menjadi marak.
3. Kawin sirri sah dalam ajaran Islam.
Tampak jelas bahwa ketiga alasan tersebut sangat lemah dan terkesan mengada-ada.
Dibawah ini jawaban ketiga alasan diatas :
Pertama, pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk mencampuri urusan agama masyarakat. Sebab, pencatatan sejatinya merupakan kewajiban negara dengan tujuan memproteksi warga. Pencatatan ditujukan kepada semua warga negara tanpa melihat agamanya. Dokumen HAM internasional menggariskan kewajiban negara mencatat seluruh peristiwa vital dalam kehidupan warga, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian. Itulah yang disebut catatan sipil. Semakin maju dan modern sebuah negara, semakin tertib dan rapi catatan sipilnya.
Sejumlah negara Islam, seperti Jordan, mewajibkan pencatatan perkawinan, dan mereka yang melanggar terkena sanksi pidana. Undang-Undang Perkawinan Jordan tahun 1976, pasal 17 menjelaskan bahwa mempelai laki-laki berkewajiban mendatangkan qadhi atau wakilnya dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana ditunjuk oleh qadhi mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, semua pihak yang terlibat dalam upacara perkawinan, yaitu kedua mempelai, wali dan saksi-saksi dapat dikenai hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar.
Kedua, kalau kawin sirri dilarang dan apalagi dianggap perbuatan kriminal, perzinaan akan semakin merebak.
Ini pandangan yang sangat dangkal dan juga keliru. Sebagai makhluk bermartabat, manusia dianugerahi pilihan bebas. Manusia memiliki banyak pilihan dalam hidupnya, bukan hanya kawin sirri dan prostitusi. Manusia dapat memilih kawin sesuai hukum; atau menunda kawin dan menyibukkan diri dengan aktivitas sosial; atau berpuasa agar dapat mengolah dan mengelola syahwat. Dan sejumlah pilihan positif lainnya.
Dengan dibolehkannya kawin sirri, prostitusi terselubung semakin merebak. Sebagian orang menyebut kawin sirri sebagai prostitusi dengan ijab qabul. Secara kasatmata di masyarakat banyak dijumpai "mafia" yang menawarkan paket kawin sirri. Di dalamnya sudah termasuk penghulu liar (bukan dari KUA), saksi dan wali yang semuanya serba dibayar. Lalu, apakah perbuatan rekayasa demikian masih pantas disebut perkawinan yang dalam Islam mengandung nilai ibadah? Apakah pantas disebut ibadah jika proses dan prosedurnya sarat dengan tindakan manipulasi dan menghalalkan segala cara? Belum lagi, akibat dari kawin sirri menimbulkan banyak mudlarat, khususnya bagi istri dan anak.
Ketiga, perkawinan secara Islam tidak membutuhkan pencatatan. Memang betul soal pencatatan perkawinan tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih abad klasik. Sebab, ketika itu kehidupan manusia masih sangat sederhana, pencatatan belum menjadi kebutuhan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan yang demikian pesat akibat kemajuan teknologi dan dinamika masyarakat sesuai tuntutan zaman. Kehidupan manusia semakin kompleks dan rumit. Pencatatan menjadi suatu kebutuhan demi kemaslahatan manusia.
Argumentasi teologis sebagai landasan menjadikan pencatatan sebagai rukun atau syarat sahnya perkawinan sangat jelas, seperti :
a. Berqiyas kepada QS. Al-Baqarah ayat 282 yang mewajibkan pencatatan utang-piutang. Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa transaksi utang-piutang saja disyariatkan untuk dituliskan. Tentu akan lebih penting lagi mencatatkan akad (transaksi) yang mengikat kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan. Apalagi, perkawinan merupakan akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan). Qiyas tersebut dalam istilah ushul fiqih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang hukumnya pada furu' lebih kuat daripada yang melekat pada asalnya).
b. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW : " ......jangan melacur dan jangan melakukan pernikahan sirri", (lihat Kitab An-Nikah, Sunan At-Tirmidzi, hadits nomor 1008; Kitab An-Nikah, Sunan An-Nasai nomor 3316-3317; Kitab An-Nikah, Sunan Ibn Majah, hadits nomor 1886).
c. Bersandar pada sejumlah hadits menghimbau agar mengumumkan perkawinan (lihat As-Sarakhsi, al-Mabsut; V:31; Sunan At-Tirmidzi nomor 1009; Sunan Ibn Majah nomor 1885; dan Musnad Ahmad nomor 15545).
Terakhir, sangat relevan diungkapkan disini pernyataan Ibnu Al-Qayyim Al-Jawziyah, ahli fiqih Mazhab Hanbali. Beliau menulis dalam kitabnya, I'lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin : "Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kemaslahatan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, seperti keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam perbuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri".
Wallahu a'lam bi as-shawab.
Dipresentasikan oleh MUSDAH MULIA, Profesor Riset Bidang Lektur Agama dan Pendiri Lembaga Kajian Agama dan Gender, pada Koran Harian Jawa Pos, edisi Senin 22 Pebruari 2010.
image : masaguz.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Makasih infonya sobat...
BalasHapuskyrie 6 shoes
BalasHapusjordan shoes
yeezy shoes
air max 95
hermes
louboutin shoes
hermes handbags
nike air max 270
nike sneakers for men
yeezy boost 350 v2